Banyak sekali hal-hal
positif pemikiran tentang filolosofi pendidikan yang diutarakan Ki Hajar
Dewantara. Salah satu hal yang sangat positif adalah menyatukan budaya
disekitar lingkungan seekolah kedalam proses belajar mengajar. Hal tersebut
ditujukan untuk mengajak tidak hanya warga sekolah tetapi juga warga masyarakat
di lingkungan sekitar sekolah untuk ikut serta berperan aktif mewujudkan suatu
budaya positif di lingkungan sekolah dan di lingkungan sekitarnya. Salah satu
prinsip yang dipegang teguh oleh Ki Hajar Dewantara dari tujuan pembelajaran
itu sendiri adalah menjadikan siswa menjadi pribadi yang bisa bermanfaat dan
berguna untuk masyarakat sekitarnya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut,
kebudayaan yang positif daerah sekitar lingkungan sekolah harus dimanfaatkan
semaksimal mungkin.
Budaya religi perlu
digunakan dalam pembelajaran di sekolah. Di daerah saya cukup banyak pendidikan
non formal keagamaan yang menunjang terwujudnya tujuan pendidikan. Saya bisa
menggunakan kebudayaan religi untuk menunjang proses pembelajaran di sekolah
dalam hal perwujudan motivasi positif internal dari siswa.
Sebagai contoh adalah
karena 100% siswa di sekolah saya adalah beragama Islam maka sebelum
pembelajaran berlangsung biasanya siswa dituntun untuk membaca beberapa ayat
dari Al-Qur’an selama kurang lebih 10 menit. Hal tersebut bertujuan agar selama
pembelajaran beerlangsung mereka diirriingi oleh semangat kerohanian yang
positif yang bisa menjaga mereka melakukan hal-hal atau tindakan-tindakan yang
tidak diinginkan. Selain itu, ketika waktu beribadah telah tiba, para guru juga
menuntun para siswa untuk melakukan ibadah bersama-sama agar terjalin nilai kebersamaan
dan toleransi yang tercipta diantara guru dan diantara siswa. Setiap hari
Jum’at tiba, siswa dan guru bersama-sama melakukan kegiatan kerohanian lainnya
seperti mendengarkan tausiyah atau ceramah dari tokoh atau pemuka agama di
sekitar lingkungan sekolah. Selain dari tokoh atau pemuka agama, tidak jarang
juga guru dan siswa ikut serta mengisi ceramah dalam kegiatan tersebut. Topik
yang dipilih untuk ceramah tersebut adalah motivasi-motivasi yang positif untuk
membangkitkan motivasi instrinsik dari dalam diri siswa dan guru. Seluruh
rangkaian kegiatan kerihanian tersebut digunakan karena para siswa di SMPN 2
Leuwisadeng sebagian besar juga belajar di pendidikan non formal keeagamaan
(pesantern) yang berlokasi di sekitar sekolah. Situasi yang sangat positif
tersebut sudah menjadi budaya di lingkungan Leuwisadeng. Diharapkan dengan
dipadukannya budaya positif tersebut di dalam kegiatan pembelajaran di sekolah
akan membuat segala tujuan pembelajaran disekolah tercapai dengan maksimal.
Program pembiasaan budaya
religi yang diterapkan di sekolah memang tidak mudah. Ada beberapa tantangan
yang dihadapi oleh guru dan sekolah. Sebagai contoh adalah siswa yang juga
menempuh pendidikan non formal di lembaga religi atau pesantren kadang cepat
merasa lelah ketika mengikuti rangkaian kegiatan pembelajaran di sekolah. Hal
tersebut dikarenakan mereka setelah pulang sekolah dan ssebelum berangkat
sekolah mengikuti kegiatan religi terlebih dahulu di pesantren. Tantangan
tersebut diatasi oleh sekolah dan guru dengan berdiskusi bersama penyelenggara
pendidikan di pesantren mengenai jadwal pembelajaran. Hasilnya pihak sekolah
dan pesantren mendapatkan solusi yaitu penyesuaian porsi belajar siswa di
pesantren. Dalam artian bahwa untuk siswa yang akan melakukan kegiatan belajar
di sekolah tidak terlalu mendapatkan porsi belajar yang padat di pesantren. Hal
tersebut diharapkan bias menjaga stamina dan konsentrasi siswa ketika melakukan
kegiatan pembelajaran di sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar